Kamis, 27 Desember 2012

Gadis Jeruk; Love To Know You, Dad


Setelah membaca buku pertama milik Jostein Gaarder yang berjudul Mistery Soliter (I wrote about it here), aku jadi tertarik untuk membaca karya-karyanya yang lain. Beberapa karyanya udah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan bahkan menjadi best seller di beberapa negara. Salah tiganya yang aku pernah tahu sudah diterbitkan di Indonesia adalah Dunia Sophie, Gadis Jeruk, dan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. And I don’t really know whether I have some good luck or it’s merely a coincidence – but I’d rather say it’s a luck ‘cause I don’t really know such thing as coincidence – but right after I finished the Solitaire’s Mystery I found out that a certain bookstore I know holds a big sale, and those two of three books were on a very good price. So I decided to get those two. Now, I’m here to share the taste of The Orange Girl, Gadis Jeruk, hope u’ll enjoy it :)

Seperti biasa, dalam novel Gadis Jeruk ini Gaarder masih juga menyisipkan hal-hal yang beraroma filsafat, namun seperti biasa pula, cerita ini diceritakan dalam sudut pandang seorang anak yang kali ini berusia lima belas tahun. Keseluruhan cerita ini dimulai dari paragraf berikut:
“Ayahku meninggal sebelas tahun yang lalu. Waktu itu aku masih berusia empat tahun. Kupikir aku takkan pernah mendengar apa-apa lagi darinya, tapi kini kami sedang bersama-sama menulis sebuah buku.” 

Whew, dari paragraf awalnya saja udah bikin penasaran, bagaimana bisa seorang ayah yang udah meninggal sebelas tahun yang lalu menulis sebuah buku bersama dengan anaknya di masa sekarang. Kira-kira kisah macam apa ya yang ditawarkan Gaarder kali ini :)

“Sofa itu masih ada di situ, tapi ayah tidak lagi duduk di situ.”

Perkenalkan seorang anak bernama Georg Roed, ayahnya meninggal saat ia berusia hampir empat tahun. Georg hampir-hampir tak punya kenangan yang masih dia ingat terkait ayahnya. Sedangkan ibunya telah menikah lagi dan Georg pun punya seorang adik perempuan yang masih bayi. Hingga pada suatu hari, tiba-tiba Georg dikejutkan oleh sebuah surat yang ditulis oleh ayahnya beberapa hari sebelum ayahnya meninggal. Sebuah surat yang saangat panjang, dengan banyak halaman.

“Ibu sering mengatakan bahwa yang paling membuat ayah sedih lebih dari segalanya adalah bahwa dia mungkin akan mati sebelum bisa mengenalku lebih baik.”

“Sesekali kita ingin seseorang membaca tulisan kita empat jam, empat belas hari, atau empat puluh tahun setelah kita menuliskannya.”

Membaca surat ini benar-benar mengguncang Georg. Dalam suratnya, sang ayah ingin menceritakan, atau lebih tepatnya membagi perasaannya dengan Georg yang pada waktu itu masih belum bisa diajak bicara selayaknya. “Apakah kamu sedang duduk dengan nyaman, Georg? Setidaknya kamu mesti duduk dengan punggung yang tegak karena aku akan menyampaikan kepadamu sebuah cerita yang menyedihkan...” Begitulah bunyi pembukaan surat yang dibaca Georg. Hanya beberapa kalimat itu saja sudah cukup membuat Georg linglung, aneh rasanya ketika dia merasa sedang berbincang dengan seseorang yang telah tiada sejak sebelas tahun yang lalu itu.

“Aku mulai mengerti mengapa hantu-hantu itu begitu suka melolong dan menjerit. Itu bukanlah untuk menakut-nakuti keturunan mereka. Melainkan, karena mereka begitu kesulitan bernafas dalam waktu yang bukan waktu mereka.”

“Untuk mengada, kita tidak hanya mendapat jatah tempat. Kita juga punya rentang waktu yang sudah diterapkan.” Ketika membaca kalimat ini, Georg mulai sadar bahwa saat itu ayahnya pun tahu bahwa dia tidak akan lama lagi akan meninggalkan Georg dan ibunya. Dan Georg pun sedikit mulai dapat merasakan kesedihan dan keresahan yang dirasakan ayahnya saat menulis surat itu.

“Orang tua sering kelihatan punya waktu yang lebih banyak daripada anak kecil yang punya seluruh kehidupan di depannya.”

“Apakah dia benar-benar tersenyum kepadaku? Atau, apakah dia tersenyum tentang aku?”

“Dia tampak seperti sebuah tanda tanya hidup.”

“Aku tidak memerhatikan apa-apa pada hari minggu itu, kecuali bahwa si Gadis Jeruk tidak ada di sana. Aku hanya melihat apa yang tidak ada.”

“Sekali lagi aku mendapatkan perasaan euphoria terhadap segala sesuatu di sekitar diriku. Siapakah kita ini, yang hidup di sini? Setiap orang di pelataran itu seperti sebuah harta karun hidup yang penuh dengan pikiran dan kenangan, impian dan keinginan.”

“Bagaimana aku bisa mengenali seekor ulat kecil setelah dia berubah menjadi kupu-kupu?”

“Tapi, jika dua orang asing tidak melakukan hal lain kecuali saling mencari, tidak mengherankan jika mereka akan saling berjumpa secara kebetulan.”

“Kita tidak berbagi masa lalu kita, Jan Olav. Pertanyaannya adalah apakah kita punya masa depan bersama.”

“Tidak ada dua jeruk yang sama, Jan Olav. Bahkan, dua helai rumput pun tidak ada yang sama. Itulah alasan kamu berada di sini sekarang.”

“Kamu tidak datang jauh-jauh ke Sevilla karena ingin bertemu ‘seorang perempuan’. Kalau iya, berarti kamu telah menghadapi kerepotan yang tidak perlu karena seluruh Eropa penuh dengan perempuan. Kamu datang untuk menemuiku, dan hanya ada satu aku. Aku tidak mengirimkan kartu dari Sevilla untuk ‘seorang laki-laki’ Oslo. Aku mengirimkannya kepadamu.”

”Aku tidak memberi komentar apa-apa tentang gambar itu, dan dia pun tidak. Tidak semuanya bisa diungkap dengan kata-kata.”


Begitulah, kutipan-kutipan tersebut sedikit menggambarkan tentang  cerita si Gadis Jeruk yang diceritakan oleh ayah Georg. Pesan yang disampaikan dalam cerita ini cukup menarik Awal kemunculan si Gadis Jeruk membuat kita geleng-geleng kepala, bagaimana seseorang, atau sesuatu, yang baru saja kita kenal dan dalam waktu yang sangat singkat, dapat memunculkan ketertarikan yang luar biasa. Selain itu, cerita tentang si Gadis Jeruk juga menyiratkan bahwa ketika kita benar-benar menginginkan sesuatu, benar-benar mencarinya, dan ketika kita benar-benar percaya, pada akhirnya kita akan dapat menemukan sesuatu tersebut. So, mau tahu cerita lengkapnya? Don’t worry, I won’t tell :P 

Namun, cerita tentang si Gadis Jeruk bukanlah satu-satunya inti yang ingin disampaikan oleh ayah Georg, sebagian surat yang lain berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang sangat ingin ditanyakan oleh ayah Georg. Pertanyaan yang ditujukan kepada Georg saat dia sudah cukup bisa diajak bicara selayaknya. And yes, it’s kinda sad, I mean, there will be some part that u might feel like crying. Bagaimana sedihnya ketika ayah Georg ingin sekali menyampaikan banyak hal pada Georg namun Georg masih terlalu kecil, sedangkan ayah Georg tahu dia tak punya banyak waktu untuk menunggu Georg cukup besar untuk dapat diajak bicara. Namun ayah Georg tetap menjadikan Georg teman terbaiknya, dengan cara menuliskan sebuah surat yang diharapkan akan dibaca Georg saat dia sudah cukup besar.

“Setelah berusia hampir lima belas miliar tahun, barulah alam semesta mendapatkan alat yang sebegitu fundamental seperti mata untuk melihat dirinya sendiri.”

“Jika kita pertimbangkan berat badan tawon, ia mampu mencapai kecepatan ratusan kali lebih unggul daripada jumbo jet. Kami tertawa karena tawon bisa terbang begitu kencang.”

“Lihatlah dunia ini, Georg, lihat dunia ini ketika engkau menjejali dirimu dengan terlalu banyak fisika dan kimia.”

“Jangan katakan bahwa alam ini bukan sebuah mukjizat.”

“Kemudian, akan tiba satu kesempatan terakhir untuk melepas penutup mata, kesempatan terakhir untuk menyerahkan diri pada ketakjuban yang kau beri ucapan selamat jalan dan pergi meninggalkanmu.”

“Aku ingin jadi penulis, seseorang yang merayakan dunia tempat kita hidup ini dengan kata-kata.”

“Aku tidak pernah berhasil menjadi penulis. Akan tetapi, setidaknya, aku sudah menuliskan surat ini untukmu.”

“Tidak banyak yang bisa kamu ingat dari masa di bawah empat tahun.”

“Dalam cara tertentu, kamu mengetahui aku lebih baik dibandingkan banyak orang lain meskipun kita berdua belum pernah bicara selayaknya semenjak kamu berusia empat tahun.”

“Segala sesuatu yang ada hanya ada hingga segalanya berakhir.”

“Salah satu hal yang aku tahu paling cepat menular adalah tawa. Namun, penderitaan pun bisa menular. Berbeda halnya dengan ketakutan. Takut tidak bisa dikomunikasikan semudah tawa atau kesedihan, dan itu baik. Takut hampir merupakan sesuatu yang sangat menyendiri.”

“Barangkali kamu merasakan bahwa sebenarnya bukan aku yang duduk menemanimu. Kamulah yang duduk menemaniku. Kamu sedang menjaga ayah.”

“Kadang-kadang lebih terasa menyakitkan bagi manusia untuk kehilangan sesuatu yang disayanginya daripada tak pernah memilikinya sama sekali.”

“Akan tetapi, impian tentang sesuatu yang tak mungkin, memiliki nama tersendiri. Kita menyebutnya harapan.”

“Ketika aku dan ayah melayang menembus angkasa bersama-sama, dan ayah tiba-tiba menangis, kusadari bahwa tidak ada satu apa pun di dunia ini yang bisa dijadikan sandaran.”

“Aku adalah teman baik Ayah,” kataku, “tapi Ibu adalah cinta sejatinya.”

“Hidup ini singkat bagi mereka yang benar-benar bisa memahami bahwa suatu hari, seluruh dunia ini akan tiba pada titik akhir yang penghabisan.”

“Jika aku tahu bahwa sesuatu berasa luar biasa lezat, aku masih mungkin menolak untuk mencicipinya jika yang ditawarkan kepadaku hanya seberat satu miligram.”

Well, I’m not a good writer, dan mungkin apa yang aku tulis ini masih jauh dari isi buku ini yang sesungguhnya. But I know some authors, and now, just by reading his three books, I declare him to be one of my favourite author. Dari buku Gadis Jeruk ini, ada beberapa hal yang sangat menarik perhatianku. Cerita tentang si Gadis Jeruk benar-benar membuatku penasaran ingin mengetahui bagaimana akhir ceritanya. Tokoh-tokohnya sedikit disamarkan sehingga kita akan keasikan menebak-nebak siapakah para tokoh itu sesungguhnya. Feeling yang disampaikan pun begitu kuat, bagaimana sang ayah sangat ingin Georg mengenalnya lebih dari siapapun, bagaimana sang ayah sangat ingin bersahabat dengan Georg namun terhalang oleh singkatnya waktu hidupnya, serta bagaimana Georg akhirnya mengetahui banyak hal yang cukup membolak-balikkan perasaannya setelah membaca surat dari ayahnya. Dan masih sama seperti buku pertamanya, Misteri Soliter, aku sangat menyukai bagaimana Gaarder memotong-motong idenya, menyebarkannya di beberapa bagian yang terpisah yang pada akhirnya mengerucut dengan sendirinya, dengan sangat rapi; serta bagaimana dia membuat kita asik menebak-nebak siapa adalah siapa dan apa pengaruhnya terhadap siapa. He’s such a smart guy, hee..

Siapakah Gadis Jeruk itu sebenarnya? Pertanyaan apa saja yang harus dijawab Georg? Bagaimana Georg melihat dunia setelah dia membaca surat dari ayahnya? Bagaimana cerita ini akan menginspirasi pemikiran kita pada akhirnya? Want to find the answers of these question already? ;D

And last but not the least, membaca buku ini benar-benar membuatku bersyukur, aku masih memiliki seorang bapak yang hebat, yang masih akan membukakan pintu dan menyambut dengan senyumnya saat aku pulang kerumah. It’s such a priceless blessing. Love u, bapak :)

 “Aku telah mewarisi penyesalan yang dalam ini dari Ayahku, sebuah penyesalan tentang keharusan untuk meninggalkan dunia ini suatu hari.”

“Namun, aku juga telah mewarisi sebuah mata untuk melihat betapa hidup ini sangat fantastis.”

Judul buku : Gadis Jeruk, The Orange Girl, Appelsinpiken
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Tebal : 256 halaman


1 komentar: