Setelah membaca buku pertama
milik Jostein Gaarder yang berjudul Mistery Soliter (I wrote about it here),
aku jadi tertarik untuk membaca karya-karyanya yang lain. Beberapa karyanya
udah diterjemahkan ke beberapa bahasa dan bahkan menjadi best seller di
beberapa negara. Salah tiganya yang aku pernah tahu sudah diterbitkan di
Indonesia adalah Dunia Sophie, Gadis Jeruk, dan Perpustakaan Ajaib Bibbi
Bokken. And I don’t really know whether I have some good luck or it’s merely a
coincidence – but I’d rather say it’s a luck ‘cause I don’t really know such
thing as coincidence – but right after I finished the Solitaire’s Mystery I
found out that a certain bookstore I know holds a big sale, and those two of
three books were on a very good price. So I decided to get those two. Now, I’m
here to share the taste of The Orange Girl, Gadis Jeruk, hope u’ll enjoy it :)
Seperti biasa, dalam novel Gadis
Jeruk ini Gaarder masih juga menyisipkan hal-hal yang beraroma filsafat, namun
seperti biasa pula, cerita ini diceritakan dalam sudut pandang seorang anak
yang kali ini berusia lima belas tahun. Keseluruhan cerita ini dimulai dari
paragraf berikut:
“Ayahku meninggal sebelas tahun yang lalu. Waktu itu aku masih berusia empat tahun. Kupikir aku takkan pernah mendengar apa-apa lagi darinya, tapi
kini kami sedang bersama-sama menulis sebuah buku.”
Whew, dari paragraf awalnya saja udah bikin penasaran, bagaimana bisa seorang ayah yang udah meninggal sebelas tahun yang lalu menulis sebuah buku bersama dengan anaknya di masa sekarang. Kira-kira kisah macam apa ya yang ditawarkan Gaarder kali ini :)
Whew, dari paragraf awalnya saja udah bikin penasaran, bagaimana bisa seorang ayah yang udah meninggal sebelas tahun yang lalu menulis sebuah buku bersama dengan anaknya di masa sekarang. Kira-kira kisah macam apa ya yang ditawarkan Gaarder kali ini :)
“Sofa itu masih ada di situ, tapi ayah tidak lagi duduk di situ.”

“Ibu sering mengatakan bahwa yang paling membuat ayah sedih lebih dari
segalanya adalah bahwa dia mungkin akan mati sebelum bisa mengenalku lebih
baik.”
“Sesekali kita ingin seseorang membaca tulisan kita empat jam, empat
belas hari, atau empat puluh tahun setelah kita menuliskannya.”
Membaca surat ini benar-benar
mengguncang Georg. Dalam suratnya, sang ayah ingin menceritakan, atau lebih
tepatnya membagi perasaannya dengan Georg yang pada waktu itu masih belum bisa
diajak bicara selayaknya. “Apakah kamu
sedang duduk dengan nyaman, Georg? Setidaknya kamu mesti duduk dengan punggung
yang tegak karena aku akan menyampaikan kepadamu sebuah cerita yang
menyedihkan...” Begitulah bunyi pembukaan surat yang dibaca Georg. Hanya
beberapa kalimat itu saja sudah cukup membuat Georg linglung, aneh rasanya
ketika dia merasa sedang berbincang dengan seseorang yang telah tiada sejak sebelas
tahun yang lalu itu.
“Aku mulai mengerti mengapa hantu-hantu itu begitu suka melolong dan
menjerit. Itu bukanlah untuk menakut-nakuti keturunan mereka. Melainkan, karena
mereka begitu kesulitan bernafas dalam waktu yang bukan waktu mereka.”
“Untuk mengada, kita tidak hanya mendapat jatah tempat. Kita juga punya
rentang waktu yang sudah diterapkan.” Ketika membaca kalimat ini, Georg
mulai sadar bahwa saat itu ayahnya pun tahu bahwa dia tidak akan lama lagi akan
meninggalkan Georg dan ibunya. Dan Georg pun sedikit mulai dapat merasakan
kesedihan dan keresahan yang dirasakan ayahnya saat menulis surat itu.
“Orang tua sering kelihatan punya waktu yang lebih banyak daripada anak
kecil yang punya seluruh kehidupan di depannya.”
“Apakah dia benar-benar tersenyum kepadaku? Atau, apakah dia tersenyum
tentang aku?”
“Dia tampak seperti sebuah tanda tanya hidup.”
“Aku tidak memerhatikan apa-apa pada hari minggu itu, kecuali bahwa si
Gadis Jeruk tidak ada di sana. Aku hanya melihat apa yang tidak ada.”
“Sekali lagi aku mendapatkan perasaan euphoria terhadap segala sesuatu
di sekitar diriku. Siapakah kita ini, yang hidup di sini? Setiap orang di
pelataran itu seperti sebuah harta karun hidup yang penuh dengan pikiran dan
kenangan, impian dan keinginan.”
“Bagaimana aku bisa mengenali seekor ulat kecil setelah dia berubah
menjadi kupu-kupu?”
“Tapi, jika dua orang asing tidak melakukan hal lain kecuali saling
mencari, tidak mengherankan jika mereka akan saling berjumpa secara kebetulan.”
“Kita tidak berbagi masa lalu kita, Jan Olav. Pertanyaannya adalah
apakah kita punya masa depan bersama.”
“Tidak ada dua jeruk yang sama, Jan Olav. Bahkan, dua helai rumput pun
tidak ada yang sama. Itulah alasan kamu berada di sini sekarang.”
“Kamu tidak datang jauh-jauh ke Sevilla karena ingin bertemu ‘seorang
perempuan’. Kalau iya, berarti kamu telah menghadapi kerepotan yang tidak perlu
karena seluruh Eropa penuh dengan perempuan. Kamu datang untuk menemuiku, dan
hanya ada satu aku. Aku tidak mengirimkan kartu dari Sevilla untuk ‘seorang
laki-laki’ Oslo. Aku mengirimkannya kepadamu.”
”Aku tidak memberi komentar apa-apa tentang gambar itu, dan dia pun
tidak. Tidak semuanya bisa diungkap dengan kata-kata.”

Namun, cerita tentang si Gadis Jeruk
bukanlah satu-satunya inti yang ingin disampaikan oleh ayah Georg, sebagian
surat yang lain berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang sangat ingin
ditanyakan oleh ayah Georg. Pertanyaan yang ditujukan kepada Georg saat dia
sudah cukup bisa diajak bicara selayaknya. And yes, it’s kinda sad, I mean,
there will be some part that u might feel like crying. Bagaimana sedihnya ketika
ayah Georg ingin sekali menyampaikan banyak hal pada Georg namun Georg masih
terlalu kecil, sedangkan ayah Georg tahu dia tak punya banyak waktu untuk
menunggu Georg cukup besar untuk dapat diajak bicara. Namun ayah Georg tetap
menjadikan Georg teman terbaiknya, dengan cara menuliskan sebuah surat yang
diharapkan akan dibaca Georg saat dia sudah cukup besar.
“Setelah berusia hampir lima belas miliar tahun, barulah alam semesta
mendapatkan alat yang sebegitu fundamental seperti mata untuk melihat dirinya sendiri.”
“Jika kita pertimbangkan berat badan tawon, ia mampu mencapai kecepatan
ratusan kali lebih unggul daripada jumbo jet. Kami tertawa karena tawon bisa
terbang begitu kencang.”
“Lihatlah dunia ini, Georg, lihat dunia ini ketika engkau menjejali dirimu
dengan terlalu banyak fisika dan kimia.”
“Jangan katakan bahwa alam ini bukan sebuah mukjizat.”
“Kemudian, akan tiba satu kesempatan terakhir untuk melepas penutup
mata, kesempatan terakhir untuk menyerahkan diri pada ketakjuban yang kau beri
ucapan selamat jalan dan pergi meninggalkanmu.”
“Aku ingin jadi penulis, seseorang yang merayakan dunia tempat kita
hidup ini dengan kata-kata.”
“Aku tidak pernah berhasil menjadi penulis. Akan tetapi, setidaknya,
aku sudah menuliskan surat ini untukmu.”
“Tidak banyak yang bisa kamu ingat dari masa di bawah empat tahun.”
“Dalam cara tertentu, kamu mengetahui aku lebih baik dibandingkan
banyak orang lain meskipun kita berdua belum pernah bicara selayaknya semenjak
kamu berusia empat tahun.”
“Segala sesuatu yang ada hanya ada hingga segalanya berakhir.”
“Salah satu hal yang aku tahu paling cepat menular adalah tawa. Namun,
penderitaan pun bisa menular. Berbeda halnya dengan ketakutan. Takut tidak bisa
dikomunikasikan semudah tawa atau kesedihan, dan itu baik. Takut hampir
merupakan sesuatu yang sangat menyendiri.”
“Barangkali kamu merasakan bahwa sebenarnya bukan aku yang duduk
menemanimu. Kamulah yang duduk menemaniku. Kamu sedang menjaga ayah.”
“Kadang-kadang lebih terasa menyakitkan bagi manusia untuk kehilangan sesuatu
yang disayanginya daripada tak pernah memilikinya sama sekali.”
“Akan tetapi, impian tentang sesuatu yang tak mungkin, memiliki nama
tersendiri. Kita menyebutnya harapan.”
“Ketika aku dan ayah melayang menembus angkasa bersama-sama, dan ayah
tiba-tiba menangis, kusadari bahwa tidak ada satu apa pun di dunia ini yang
bisa dijadikan sandaran.”
“Aku adalah teman baik Ayah,” kataku, “tapi Ibu adalah cinta
sejatinya.”
“Hidup ini singkat bagi mereka yang benar-benar bisa memahami bahwa
suatu hari, seluruh dunia ini akan tiba pada titik akhir yang penghabisan.”
“Jika aku tahu bahwa sesuatu berasa luar biasa lezat, aku masih mungkin
menolak untuk mencicipinya jika yang ditawarkan kepadaku hanya seberat satu
miligram.”

Siapakah Gadis Jeruk itu
sebenarnya? Pertanyaan apa saja yang harus dijawab Georg? Bagaimana Georg
melihat dunia setelah dia membaca surat dari ayahnya? Bagaimana cerita ini akan
menginspirasi pemikiran kita pada akhirnya? Want to find the answers of these
question already? ;D
And last but not the least,
membaca buku ini benar-benar membuatku bersyukur, aku masih memiliki seorang bapak
yang hebat, yang masih akan membukakan pintu dan menyambut dengan senyumnya
saat aku pulang kerumah. It’s such a priceless blessing. Love u, bapak :)
“Aku telah mewarisi penyesalan yang
dalam ini dari Ayahku, sebuah penyesalan tentang keharusan untuk meninggalkan
dunia ini suatu hari.”
“Namun, aku juga telah mewarisi sebuah mata untuk melihat betapa hidup ini
sangat fantastis.”
Judul buku : Gadis Jeruk, The Orange Girl, Appelsinpiken
Pengarang : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Tebal : 256 halaman
dowo
BalasHapus